Layaknya seorang pemain bola yang akan melakukan tendangan bebas ke arah gawang, namun terhalang oleh barisan pagar hidup dari pemain belakang lawan. Seperti itulah gambaran menuju Indonesia Emas 2045, dimana visi Pemerintah Indonesia untuk menjadikan negara ini sebagai salah satu negara yang paling berkembang dan berdaya saing di dunia pada tahun 2045 nanti, menandai seratus tahun kemerdekaan Indonesia. Ternyata untuk mencapai visi tersebut, banyak tantangan yang harus diatasi, dan salah satu tantangan utamanya adalah stunting.
Stunting adalah masalah kesehatan yang terjadi ketika anak-anak mengalami pertumbuhan fisik dan perkembangan kognitif yang terhambat karena kurang gizi dan perawatan yang tidak memadai selama 1.000 hari pertama kehidupan, yaitu mulai dari masa kehamilan hingga usia dua tahun. Stunting memiliki dampak jangka panjang yang serius pada individu dan masyarakat, termasuk penurunan produktivitas, kualitas sumber daya manusia yang buruk hingga beban ekonomi yang tinggi.
Mengapa Stunting Menjadi Tantangan Bagi Indonesia Emas 2045?
Produktivitas dan Daya Saing: Stunting dapat menghambat perkembangan fisik dan kognitif anak-anak, yang pada gilirannya dapat mengurangi produktivitas mereka saat dewasa. Hal ini dapat menghambat upaya Indonesia untuk menjadi negara yang berdaya saing tinggi di pasar global.
Sumber Daya Manusia yang Berkualitas: Pencapaian Indonesia Emas 2045 membutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Stunting dapat menghambat perkembangan intelektual anak-anak, sehingga potensi mereka tidak tercapai sepenuhnya.
Beban Ekonomi: Stunting mengakibatkan beban ekonomi yang besar, baik bagi individu maupun masyarakat. Perawatan kesehatan tambahan, pendidikan khusus, dan produktivitas yang rendah adalah beberapa contoh dampak ekonomi negatif dari stunting.
Dampak terhadap Kesehatan Anak: Stunting adalah hasil dari gizi buruk dan perawatan yang tidak memadai selama masa pertumbuhan awal anak-anak. Ini dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan, termasuk penurunan daya tahan tubuh, risiko infeksi yang tinggi, dan masalah perkembangan lainnya.
Kurangnya Potensi Kognitif: Anak-anak yang mengalami stunting mungkin mengalami dampak negatif pada perkembangan kognitif mereka, termasuk kemampuan belajar dan berpikir. Ini dapat menghambat potensi generasi masa depan.
Crescendo Effect: Stunting pada anak-anak dapat menghasilkan “crescendo effect,” yang berarti anak-anak yang mengalami stunting cenderung tumbuh menjadi orang dewasa yang lebih pendek dan memiliki masalah kesehatan kronis. Hal ini dapat berdampak negatif pada produktivitas tenaga kerja dan kesejahteraan ekonomi.
Peningkatan Beban Kesehatan dan Pendidikan: Stunting dapat meningkatkan beban sistem kesehatan dan pendidikan. Anak-anak yang menderita stunting mungkin memerlukan perawatan kesehatan tambahan dan mungkin memiliki kesulitan di sekolah.
Kemiskinan dan Ketidaksetaraan: Stunting sering terkait dengan masalah kemiskinan dan ketidaksetaraan. Keluarga yang hidup dalam kemiskinan lebih rentan terhadap stunting, dan stunting dapat memperdalam kesenjangan sosial dan ekonomi.
Dampak pada Kemampuan Bersaing Secara Global: Untuk menjadi negara maju dan mencapai visi Indonesia Emas 2045, Indonesia perlu memiliki tenaga kerja yang kompetitif secara global. Stunting dapat mengurangi kapasitas sumber daya manusia Indonesia untuk bersaing di pasar global.
Peningkatan Beban Pemerintah: Pemerintah harus mengalokasikan sumber daya yang signifikan untuk mengatasi stunting, termasuk perawatan kesehatan, pendidikan, dan program-program gizi. Ini dapat membebani anggaran pemerintah.
Oleh karena itu, penanganan stunting menjadi penting dalam pencapaian visi Indonesia Emas 2045. Upaya untuk mengatasi stunting tidak hanya akan meningkatkan kualitas hidup anak-anak Indonesia tetapi juga berkontribusi pada perkembangan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan di masa depan. Itu adalah langkah penting menuju mencapai visi Indonesia Emas sebagai negara maju pada tahun 2045.
Kenapa stunting ini menjadi penting?
Stunting menjadi penting karena dapat mengganggu potensi sumber daya manusia, berdampak pada kesehatan anak-anak, bahkan dapat menyebabkan kematian. Meskipun terjadi penurunan angka stunting, angka tersebut masih tinggi, dengan WHO menargetkan angka stunting tidak lebih dari 20 persen. Data Bank Dunia menunjukkan bahwa 54% angkatan kerja mengalami stunting saat bayi, menjadi fokus pemerintah.
Pada tahun 2021, Pemerintah Indonesia menargetkan mengurangi angka stunting menjadi 14 persen pada tahun 2024. Dr. Hasto Wardoyo, Ketua BKKBN, dipercayakan untuk memimpin upaya percepatan penurunan stunting. Stunting disebabkan oleh kekurangan gizi pada bayi, dengan sekitar 1,2 juta bayi lahir dengan kondisi stunting setiap tahun. Bahkan sejak kelahiran, prevalensi stunting mencapai 23%, dan angka ini meningkat menjadi 27,6% akibat faktor-faktor setelah kelahiran. Artinya, stunting adalah masalah serius yang perlu diatasi segera.
Awal tahun 2021, Pemerintah Indonesia menargetkan angka Stunting turun menjadi 14 persen di tahun 2024. Presiden Joko Widodo menunjuk Kepala BKKBN, Dr. (HC) dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG. (K) menjadi Ketua Pelaksana Percepatan Penurunan Stunting.
Dokter Hasto mengatakan angka stunting disebabkan berbagai faktor kekurangan gizi pada bayi. Menurut Hasto diantara 5 juta kelahiran bayi setiap tahun, sebanyak 1,2 juta bayi lahir dengan kondisi stunting. Stunting itu adalah produk yang dihasilkan dari kehamilan. Ibu hamil yang menghasilkan bayi stunting. Saat ini, bayi lahir saja sudah 23% prevalensi stunting. Kemudian setelah lahir, banyak yang lahirnya normal tapi kemudian jadi stunting hingga angkanya menjadi 27,6%. Artinya dari angka 23% muncul dari kelahiran yang sudah tidak sesuai standar.
(https://www.kominfo.go.id/content/detail/32898/indonesia-cegah-stunting-… )
Bagaimana di Bangka Belitung?
Data menunjukkan bahwa stunting juga merupakan masalah yang signifikan di Bangka Belitung. Kondisi ini dapat berdampak serius pada kesehatan dan perkembangan anak-anak di provinsi ini. Meskipun angka stunting dapat bervariasi dari tahun ke tahun, tindakan perlu diambil untuk mengatasi masalah ini.
Tingkat pendidikan yang rendah di Provinsi Babel menjadi pemicu kasus stunting. Hal ini disebabkan oleh peningkatan perkawinan usia anak akibat rendahnya tingkat pendidikan, yang kemudian mengakibatkan pola asuh yang tidak tepat.
Stunting di Provinsi Babel terjadi secara aneh, karena tidak hanya disebabkan oleh kekurangan asupan gizi, tetapi juga oleh pola asuh yang salah. Kekeliruan dalam pola asuh ini seringkali terjadi karena banyak masyarakat yang hanya memiliki pendidikan dasar. Tingkat pendidikan di Provinsi Babel secara nasional masih relatif rendah.
Oleh sebab itu, perlu adanya intervensi ke depan untuk meningkatkan tingkat pendidikan, sehingga pemuda-pemudi tidak akan menikah pada usia dini. Dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, mereka akan lebih mampu secara ekonomi dan memiliki pola pikir yang lebih matang. Secara masif pula, pencegahan stunting ini harus dibarengi dengan sosialisasi, kampanye, publikasi dan promosi kesehatan.(fia/rls)